Jakarta, CNBC Indonesia – Proses pengajuan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh Budi Said terhadap PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) atau Antam penuh dengan kejanggalan.
Kejanggalan kedua pertama adalah pemohon PKPU tidak memiliki legal standing. Antam dapat dikategorikan sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sesuai kesepakatan ketentuan pasal 1 angka 1 Undang-Undang BUMN (UU BUMN), Putusan MK Nomor 48/2013, Putusan MK Nomor 63/2013 danPutusan MA 21 P/HUM/2017karena sebagian besar sahamnya dimiliki oleh negara dan memiliki saham seri A dwiwarna.
Oleh karena itu, sesuai ketentuan pasal 2 ayat 5 UU KPKU, permohonan PKPU terhadapnya hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Hal ini juga sudah ditegaskan oleh Putusan PKPU Nomor 267 Waskita dan putusan-putusan PKPUPutusan PTPN I.
Kejanggalan kedua adalah dasar tagihan pemohon PKPU juga dijadikan dasar permohonan eksekusi di Pengadilan Negeri Surabaya (PN Surabaya). Padahal proses atas eksekusi telah berjalan dan telah mencapai pemeriksaan atas permohonan sita yang diajukan Budi Said, sementara penetapan belum dikeluarkan oleh PN Surabaya.
“Dengan demikian, permohonan PKPU Budi Said prematur, karena masih ada proses hukum yang sedang berjalan di PN Surabaya,” ungkap Fernandes Raja Saor, Kuasa Hukum Antam, kepada CNBC Indonesia, Selasa (12/12/2023).
Terlebih, masih ada perkara yang masih berjalan, yakni Peninjauan Kembali ke-2 (PK 2) di Mahkamah Agung (MA) dan, Gugatan perdata di PN Jakarta Timuryang masih berjalan yang dapat mengubah status hukum utang piutang Antam dengan Budi Said dan proses eksekusi di PN Surabaya.
Kemudian kejanggalan ketiga adalah permohonan PKPU seharusnya ditujukan kepada Eksi Anggraeni dan pihak yang membantu penjualan emas, sebab yang menjanjikan adanya pembelian emas dengan harga diskon adalah Oknum Kepala Butik Emas Logam Surabaya 01 atau Eksi Anggraeni serta Endang Kumoro, Misdianto dan Ahmad Purwanto. Sehingga, permohonan PKPU Budi Said dianggap salah sasaran.
“Permohonan PKPU yang diajukan juga diduga keras memiliki itikad buruk (bad faith) untuk menghancurkan bisnis maupun aset negara yang mana bukan merupakan semangat dari UU KPKPU, karena nama Budi Said disebut dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Investigasi,” lanjut Fernandes.
Di sisi lain, Antam juga merupakan perusahaan yang sehat dan memiliki kemampuan bayar yang tinggi, sehingga tidak masuk akal jika dijatuhi PKPU.
Kejanggalan keempat adalah kreditor lain tidak memiliki utang yang jelas. Karena dasar utang kreditor lain telah diperiksa pengadilan dan dinyatakan tidak dapat diterima, dan ada yang telah ditolak pengadilan namun masih proses banding.
Alasan lainnya, utang Budi Said selaku Pemohon PKPU tidak sederhana di mana masih adanya perkara perdata dan pidana yang sedang berjalan. Perkara pidana yang berjalan, yakni pada persidangan tindak pidana korupsi ditemukan fakta baru bahwa Eksi Anggraini mengakui diperintahkan Budi Said memberikan hadiah kepada oknum-oknum karyawan Antam, sehingga Budi Said diduga melakukan tindakan gratifikasi.
Atas kejanggalan-kejanggalan tersebut, Kuasa Hukum Antam dengan tegas menolak permohonan PKPU yang diajukan oleh Budi Said pada 30 November lalu perihal tagihan 1.136 kilogram emas atau senilai Rp 1,19 triliun.
Adapun langkah yang akan dan telah dilakukan Antam ialah, bekerja sama dengan Jamdatun untuk mendampingi dan mewakili Antam dalam penanganan PKPU. Lalu menunjuk kuasa hukum dalam penanganan PKPU. Berdasarkan proses terkini, kuasa hukum bersama dengan Jamdatun telah menghadiri persidangan pertama PKPU.
Kronologi Dugaan Penipuan Diskon Emas Antam
Transaksi pembelian 7 ton emas batangan Antam ini sendiri sarat dengan kejanggalan. Pada Maret 2018, Budi Said bertemu dengan Eksi Anggraeni di Kantor Butik Emas Logam Mulia (BELM) Surabaya 01 Antam. Transaksi ini dihadiri tiga mantan karyawan Antam yakni Endang Kumoro, Misdianto, dan Ahmad Purwanto.
Eksi menyatakan, dirinya dapat memberikan harga diskon kepada Budi Said dengan sistem bayar terlebih dahulu dan Budi dapat menerima emasnya 12 hari kemudian. Namun, Antam menegaskan tidak pernah memberikan harga diskon karena emas yang dijual sesuai dengan yang dipublikasikan di website logam mulai Antam.
Di sisi lain, ANTM menjalankan transaksi dengan sistem cash and carry.
Kemudian, Budi Said tetap melakukan pembelian 7 ton emas dengan skema yang diduga sebagai berikut. Budi mengirimkan uang ke rekening Antam dengan harga diskon. Lalu mantan karyawan mencatatkan pengiriman uang sebagai pembelian biasa (tanpa diskon) sehingga di sistem Antam dan faktur yang diterbitkan menggunakan harga resmi.
Tentu jika Budi Said membayar dengan harga diskon, ada selisih emas yang tidak terbayar. Untuk menutup sisa itu, Eksi bersama mantan karyawan diduga mengeluarkan emas tanpa faktur.
“Eksi mendapatkan insentif dan komisi untuk pemberian emas, diduga untuk memastikan transaksi tetap berjalan. Eksi memberikan uang, emas, umroh, dan mobil kepada tiga mantan karyawan,” ujar Fernandes.
Lantas, setelah 73 kali transaksi, Budi Said hanya mendapatkan 5.935 kg emas (sesuai faktur dan harga resmi). Namun sesuai dengan ‘harga diskon’ yang dijanjikan Eksi, Budi Said mendapatkan 7.071 kg emas.
“Maka itu kekurangan 1.136 kg diduga bukan merupakan kekurangan, melainkan klaim yang dugaannya berasal dari penipuan,” tegasnya.
Endang Kumoro lalu menerbitkan surat keterangan tanggal 16 November 2018 yang menyatakan Antam berhutang 1.136 kg kepada Budi Said.
“Padahal Endang Kumoro tidak memiliki kewenangan untuk menerbitkan surat demikian sehingga seharusnya surat tersebut tidak berkekuatan hukum,” jelasnya.
Perkara hukum kasus ini dimulai dari sidang tindak pidana penipuan terhadap Eksi dan mantan karyawan yang memberikan harga emas diskon kepada Budi Said.
Menggunakan putusan 2576 dan 2658 kekurangan emas berasal dari janji yang merupakan penipuan, seharusnya tidak bisa diklaim. https://milodingines.com/